Akademisi UIN SU Semarakkan AICIS XXII 2023 di Surabaya | Rekontekstualisasi Fiqih Wujudkan Kemanusiaan Setara dan Perdamaian Berkelanjutan

Surabaya, (UIN SU)
Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UIN SU) Medan turut menyemarakkan forum akbar akademisi dan cendikiawan muslim Indonesia yang diprakarsai Kementerian Agama (Kemenag) dalam program Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) XXII 2023 yang digelar di UIN Sunan Ampel, Surabaya yang tanggal 2-5 Mei 2023.

Pembukaan berlangsung meriah pada Selasa (2/5) malam yang dipimpin Menteri Agama (Menag) Gus Yaqut Cholil Qoumas. Turut dihadiri Dirjen Pendis Kemenag Prof Muhammad Ali Ramdhani, para pimpinan dan pejabat Kemenag, pimpinan PTKIN se-Indonesia, ratusan penyaji dan puluhan narasumber program dari berbagai belahan dunia serta ratusan mahasiswa.

Pada pembukaan, Dirjen Pendis Prof Ali Ramdhani menyampaikan, sejalan tema besar yang disajikan yakni ‘Rekontekstualisasi fiqih dan hukum Islam untuk kesetaraan kemanusiaan dan perdamaian berkelanjutan’ ditujukan untuk mengkaji Islam dengan pendekatan sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin atau rahmat bagi seluruh alam. Segala terkait Islam agar dipahami dan diimplementasikan dengan pendekatan yang lebih humanistik dan progresif, untuk menuju masyarakat yang adil dan beradab.

Menurut Prof Ali, prinsip-prinsip kasih sayang dalam Islam perlu dijadikan landasan untuk kemajuan dunia Islam dan dunia global. Melalui pernyataan paradoks yakni agama dulu hadir untuk menghancurkan berhala kini agama jadi berhala. Artinya, agama dipuja-puja sementara ajarannya ditinggalkan beramai-ramai. Peran dan fungsi ajaran agama itu yang harus dibawa kembali dengan prinsip kasih sayang.

Para akademisi, cendekiawan, peneliti dan pendidik melalui AICIS 2023 ini ditantang untuk menggali hal itu. Yakni menggali dan mengungkap fleksibilitas ajaran Islam di era industri 4.0 dan era society 5.0 yang menyebabkan perubahan dan disrupsi yang begitu cepat di segala aspek kehidupan manusia.

Menurutnya, Alquran dan sunnah perlu ditafsirkan dalam pendekatan yang lebih kontekstual dan relevan oleh para ahli dan para fuqaha (ahli hadis). Yang saat ini sering dipertanyakan seputar Islam kontemporer dan tentang kemanusiaan universal di dunia global.

Ia mengarahkan, AICIS sebagai wadah para pakar untuk berdiskusi secara intensif, tidak hanya berbasis pada pengatahuan akademik semata. Tapi berangkat dari berbagai kasus di lapangan terkait isu-isu fiqih dan hukum Islam. Perlu kajian terbaru untuk menangani berbagai masalah umat Islam menghadapi tantangan zaman. Forum ini memberikan ruang untuk membuktikan kebutuhan akan perubahan fiqh untuk menghadapi perubahan masyarakat postmodern.

Prof Ali menuturkan, AICIS XXII digelar empat hari dengan menyajikan empat sesi pleno dengan melibatkan belasan narasumber dari Indonesia dan dari berbagai negara seperti Amerika, Mesir dan lainnya. Forum kali ini bukan hanya soal sajian kinerja akademik, namun juga untuk memberikan rekomendasi kebijakan atau policy recomendation.

Berbeda dari sebelumnya

Prof Ali Ramdhani menjelaskan, pada AICIS tahun ini terdapat lima poin yang membedakan dengan pelaksanaan di tahun-tahun sebelumnya. “Pertama, pemilihan tema utama yang diangkat pada AICIS tahun ini, merupakan wujud respons atas tantangan yang pernah disampaikan oleh Gus Menteri pada gelaran AICIS, baik di Solo 2021 maupun AICIS di Mataram 2022,” ujar Ali Ramdhani.

“Jika AICIS sebelumnya menekankan sharing ideas dalam berbagai disiplin ilmu yang berkembang di lingkungan perguruan tinggi Keagamaan Islam sehingga tema yang diangkat cenderung lebih luas. AICIS 2023 dirancang sebagai forum indepth discussion di bidang ilmu fikih, sehingga temanya lebih fokus, ” sambungnya.

Kedua, lanjutnya, AICIS 2023 mengintegrasikan kajian teoritis dengan pengalaman empiris, tentang pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dan spirit perdamaian dalam kehidupan beragama, dengan mempertemukan para pelaku di lapangan dan akademisi ternama. Ketiga, baru pertama kali ini, penyelenggaraan AICIS berkolaborasi dengan 10 Jurnal PTKI terindeks Scopus dari 55 jurnal terindeks Scopus yang mendaftar sebagai mitra AICIS. Sebagai tindak lanjutnya, naskah yang terpilih yang dipresentasikan, selanjutnya akan dikelola sesuai standar penanganan naskah jurnal dan akan dipublikasikan di Jurnal terindeks Scopus.

Keempat, jika AICIS sebelumnya lebih berorientasi pada apresiasi kinerja akademik, AICIS 2023 lebih berorientasi pada policy recommendation. Kelima, dalam rangka mendukung program transformasi digital Kementerian Agama, penyelenggaraan AICIS 2023 dilandasi oleh spirit dan mindset digital, sehingga semua aspek penyelenggaraan berbasis digital. Seluruh produk yang dihasilkan dari AICIS terutama manual book dan kumpulan abstract papers dapat diakses melalui aplikasi Pusaka Superapps.

“Kita berharap semoga konferensi AICIS 2023 ini bermanfaat dan menghasilkan rumusan Surabaya Charter yang nanti akan dideklarasikan bersama. AICIS bukan sekedar forum akademik yang eksklusif dan teoretik, tetapi AICIS menjadi bagian dari forum akademik yang merumuskan berbagai solusi atas tantangan riil pada permasalahan-permasalahan nyata kemasyarakatan,” tukasnya.

Berani merekontekstualisasi

Menag Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya menyampaikan, AICIS ke-23 ini mengangkat tema yang luar biasa, tema yang penting karena dinilai relevan dengan persoalan dihadapi saat ini. Tiga poin penting dalam program ini yakni soal rekontekstualisasi fiqih, kesetaraan kemanusiaan dan perdamaian yang berkelanjutan. Menteri menerangkan, perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti terjadi.

“Saya ingatkan, tatanan sosial terus berubah dan berkembang. Satu-satunya yang tidak berubah di dunia ini adalah perubahan itu sendiri,” katanya.

Perubahan atau ketidakrelevanan itu juga bergantung pada waktu dan hal itu sunnatullah. Jadi, prinsip itu yang juga sama terhadap hal-hal terkait agama, terkait dengan kehidupan sosial atau muamalah atau ijtihadiyah dan rumusan norma agama. Yang juga selalu mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan sosial yang terjadi. Bahwa karakteristik fiqih yang merupakan produk keilmuan harus bersifat fleksibel atau dinamis. “Mengikuti dinamika perkembangan zaman,” tandas Gus Men, ia akrab disapa.

Sehingga demikian, lanjutnya, fiqih sebagai produk keilmuan, bisa menjawab persoalan baru atau kekinian yang muncul. Hal itu merupakan tantangan besar. Apaka berani untuk membongkarnya. Membongkat fiqih yang sudah mapan selama ini. Walau menteri menyadari, fleksibilitas fiqih yang dimaksud ini bertentangan bagi sebagian orang yang beranggapan, hal itu sebagai seperangkat norma yang kaku dan sakral sehingga tidak mungkin diubah.

Menjadikan fiqih sebagai kompilasi standar hukum Islam dan teksnya sebagai kandungan syariah yang suci. “Ini tentu saja anggapan beragama yang tidak tepat, setidaknya pada masa sekarang ini,” tegas menteri.

Kendati demikian, melalui AICIS ini, Gus Men mengarahkan agar rekontekstualisasi fiqih ini dilakukan secara bertahap. Membahas isu per isu agar lebih detail, khususnya untuk yang menjadi problem serius dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di antaranya terkait isu muslim dan nonmuslim, muslim dan kafir dan lain sebagainya. Berbagai persoalan terkait pemahaman berbeda juga berpotensi gesekan lainnya, menteri memaparkan berbagai contoh.

Di antaranya, usai orde baru, negara Indonesia banyak mengalami konflik yang berlatar dan bernarasi dengan isu-isu agama seperti di Sulawesi dan lain sebagainya. Persoalan lain seperti kasus intoleransi, hate speech, diskriminasi, persekusi dengan motivasi agama dan lainnya. Untuk itu, menteri mengarahkan, ke depan, topik yang diangkat harus berlanjut dari topik yang dibahas tahun ini.

Membawa semangat kebersamaan dan nasionalisme, Yaqut mengakui, berbagai masalah tersebut juga dihadapi semua agama. Maka pada forum ini diundang berbagai tokoh agama lain dan para pemikir, karena semua agama menyimpan problem sama. Menurutnya rekontekstualisasi ini mutlak diperlukan di agama lain. Agar semua ahli agama masing-masing duduk bersama kembali, jika menemukan unsur yang dapat membahayakan keberadaan hidup berdampingan dan perdamaian di masyarakat, maka harus berani mempertimbangkan tafsir yang lebih baru yang memungkinkan kita hidup damai berdampingan.

Ia mengajak, semua elemen agar melihat agama-agama sebagai sumber ajaran yang mulia. Memerintahkan umatnya untuk mengembangkan kebajikan atau akhlak yang mulia, untuk melayani dan menjadi berkah bagi semua ciptaan Tuhan, atau dalam kata lain mewujudkan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.

Sementara, Sub Koordinator Humas dan Informasi UIN SU Yunni Salma, MM menjelaskan, sejumlah partisipan dan akademisi UIN SU ikut menyemarakkan kegiatan tersebut. Yakni di antaranya, Plt Rektor UIN SU Prof Dr Abu Rokhmad M.Ag, Prof Dr Hasan Asari, MA, Dr Hasnah Nasution, MA, Dr Nispul Khoiri, MAg, Dr Maraimbang Daulay, MA, Prof Dr Hasan Bakti, MA. Turut hadir Kepala Biro AUPK Khairunas, SH, MH, Kepala Biro AAKK Drs Ibnu Sa’dan, MPd dan Ketua Senat UIN SU Prof Dr Saiful Akhyar, MA dan Dr Arifinsyah, MAg serta tampil sebagai panelis Faisal Riza dan Nasrun Salim Siregar (Humas)