Rektor UINSU: Wahdatul Ulum Solusi Keilmuan Islam yang Dianggap Kelas Dua

Medan (UIN SU)
Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Prof Dr Syahrin Harahap MA menegaskan Wahdatul Ulum solusi dari problema keilmuan Islam.

“Ilmuan Islam itu dianggap kelas dua, dianggap tidak tahu terhadap masalah diluar ilmu agama, ini sudah terjadi sejak 1971 sudah konfrensi di Jeddah, supaya tidak dianggap enteng,” jelas Prof Syahrin pada Rapat Majelis Pertimbangan Akademik (MPA) Pascasarjana UIN Sumatera Utara Medan di Hotel Madani, Selasa (7/6/2022).

Ketua MPA UIN Sumut ini menambahkan, Wahdatul Ulum harus diterapkan pada semua bidang keilmuan.

“Ujian komprehensif, harus ada aplikasi dan semua prodi diterapkan agar ujian komprehensif lebih aerodinamik. Kalau aplikasinya sudah oke, agar diterapkan saja. Karena bisa saja penguji lisan tidak peduli dengan tulisan yang sudah dibuat, agar tidak suka hatinya saja,” tegas Prof Syahrin seraya menambahkan dilihat pada silabus ujian komprehensif ini apakah sudah Wahdatul Ulum atau belum.

Pada perencanaan dan pelaksanaan pengabdian masyarakat, lanjutnya, apakah sudah Wahdatul Ulum apa tidak. Itu terlihat dalam perencanaan dan pengabdian.
Wahdatul Ulum itu dilihat pada outplan penelitian karya ilmiah dan penulisan teks book. Dalam imajinasi saya, apa yang diterapkan dalam Wahdatul Ulum jadi alat ukurnya, Pascasarjana bisa merumuskannya.

Dia menambahkan, untuk melihat apakah sudah menggunakan perspektif Wahdatul Ulum, minimal dilihat dari 5 jurusan. Pertama, kesatuan. Proposal penelitian ini, teks book atau tesis, disertasi, penulis apakah memahami terhadap kesatuan keilmuan atau Wahdatul Ulum.

“Ilustrasi-ilustrasi orangbuta memegang gajah pedoman penting, fakultas dan prodi kita persis orang buta memegang gajah itu dan mereka mendefenisikan ilmu Islam sesuai dengan ilustrasi itu, padahal kita harus naik ke ufuk untuk melihat gajah itu sehingga kita mendiskripsi gajah itu secara benar, kita harus naik. Kira-kira itu yang kita maksud dengan Wahdatul Ulum,” katanya.

Yang kedua, saling keterkaitan. Artinya pelaku penelitian, penulisan, pengajaran itu tidak terisolasi sebagai hirarki ilmu.

Ketiga, lanjutnya, apakah telah menghilangkan tapal batas perspektif dengan tidak melebur bidang keilmuan.

“Kalau integrasi ilmu ini telah menghilangkan tapal batas apakah dengan demikian tidak ada lagi bidang-bidang, itu pertanyaan langsung saya kepada Almarhum Prof Fadil ketika dia masih hidupnya, namun karena tidak sehat dan tidak memberikan jawaban, maka saya akan cari jawabannya sendiri,” ujarnya.

Oleh karena itu, kata Prof Syahrin, Wahdatul Ulum itu harus menghilangkan tapal batas antara bidang yang kecil, tetapi dengan tidak melebur bidang keilmuan. “Jadi jangan ahli segalanya mampu menggunakan perspektif yang kaya tapi bukan ahlinya, dia bisa ahli pada bidangnya,” jelasnya.

Yang keempat, standar pengukuran penelitian atau tulisan dan pengajaran itu sudah Wahdatul Ulum bicara tentang aksiologi, bukan berteori saja.

“Maka kita tarik Wahdatul Ulum itu kepada aplikasi, aksiologi, dan kita bagi kepada orang ahli kepada pertama dia filosofi Wahdatul Ulum, mau diskusi saja, tapi silahkan saja untuk memercaya filosofi,” kata dia.

Yang terakhir adalah Teologis. Menurutnya apakah penelitian, tulisan atau pengajaran yang menunjukkan dan menundukkan pesertanya kepada Tuhan.

“Jadi tujuannya seperti itu, adalah menjual di dalam silabus dia begitu, harus kita tambah demi Wahdatul Ulum,” ujarnya.

Hadir pada Rapat Majelis Pertimbangan Akademik (MPA) Pascasarjana UIN Sumatera Utara tersebut, Ketua Senat Prof Dr Saiful Akhyar Lubis MA, Wakil Rektor 1 Prof Dr Hasan Asari MA, Wakil Rektor 2 Dr Hasnah Nasution MA dan para guru besar.