Dilema Haji Lansia dan Ikhtiar Teologis-Spiritual Seorang Amir Al-Hajj

Nurhayati

Rektor UIN Sumatera Utara Medan

Sejarah menunjukkan agaknya pemerintah Indonesia secara resmi mengirimkan misi hajinya untuk yang pertama kali tahun 1948. Sebelumnya misi haji Indonesia dilakukan oleh berbagai Ormas Islam sebut saja Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama. Menteri Agama kala itu, KH Masjkur mengutus KRH Moh Adnan, Ustadz H Ismail Banda, H Saleh Suady, H Samsir Sultan Ameh sebagai anggota untuk menghadap Raja Saudi Arabia Ibnu Saud. Kesempatan itu dimanfaatkan Ustadz Ismail Banda untuk menyampaikan orasinya melalui media pers Arab Saudi berkenaan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan kolonial Belanda. Tentu saja, lewat orasi itu, banyak negara-negara Timur Tengah yang menaruh simpati dan mendukung kemerdekaan RI. Pada tahun itu pula untuk pertama kalinya, bendera Merah-Putih pertama kali dikibarkan di bumi wukuf, Arafah. Di sisi lain, pada saat yang sama konsulat Belanda di Arab Saudi juga mengirim misi haji, dengan mengutus KH M Adnan dan beberapa orang lainnya. Sayangnya misi haji Belanda ini tidak mendapat perhatian dari pemerintah Arab Saudi.

Catatan singkat itu menunjukkan betapa misi haji Indonesia yang sekarang ini disebut dengan amir al-hajj, sangat penting dalam perhajian Indonesia. Urusan Amirul Haj sebenarnya sangat vital menyangkut regulasi, politik, ekonomi, sosial dan budaya Indonesia dalam hubungan internastional melalui haji. Rekam sejarah ini tidak terbantahkan, karena ini adalah salah satu bukti nyata pengkhidmatan negara melalui kementerian Agama dalam melayani dan memfasilitas rakyatnya yang ingin melaksanakan ibadah haji. Dengan demikian, keberadaan  Amirul Haji memiliki peran yang signifikan dalam persoalan haji dengan segala seluk beluknya.

Pemerintah telah menetapkan 13 orang sebagai Amir Al-Hajj yang diketuai oleh Menteri Agama RI, Yaqut  Cholil Qoumas dari  enam perwakikan pemerintah dan 6 keterwakilan Ormas Islam ini. Posisi Menteri Agama sebagai ketua Amir Al Hajj sesungguhnya ingin menunjukkan bahwa negara hadir di tengah-tengah rakyatnya bahkan terus mengawal dan memperhatikan jama’ah haji dari awal pelaksanaan sampai akhirnya mereka kembali ke tanah air dengan selamat sejahtera tanpa kurang sesuatu apapun.

Pasca pandemic pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama memiliki persoalan yang tidak dapat dikatakan kecil. Persoalan yang dimaksud adalah, semakin banyaknya calon haji yang lansia yang berada dalam daftar tunggu. Panjangnya daftar tunggu ini tentu saja dapat kita pahami karena Pemerintah Arab Saudi menetapkan Quota untuk setiap negara. Bagi Indonesia, kouta yang disiapkan tidak sebanding dengan jumlah jama’ah calon haji yang ingin berangkat haji. Tidaklah mengherankan daftar tunggu untuk daerah tertentu lebih dari 15 tahun bahkan ada yang lebih 20 tahun. Pada titik ini jama’ah lansia tentu tidak dapat dihindarkan. Namun harus diingat, lansia sebagai calon haji tentu memiliki resiko yang juga tidak kecil, terutama dari sisi kesehatannya dan kecakapannya dalam menguasai medan haji di Makkah.

Sampai di sini ada dilema. Amir al-Hajj dalam hal ini Menteri Agama dihadapkan kepada dua pilihan yang sama sulit dan sama pula besar resikonya. Memberangkat jama’ah lansia sangat beresiko tinggi. Tidak memberangkatkan jama’ah lansia juga sama dengan memupus harapan jama’ah Haji yang bisa jadi ia telah menunggunya bertahun-tahun. Menabung rupiah demi rupiah, menahan keinginan duniawinya hanya untuk bisa berhaji namun akhirnya semua menjadi sirna. Dalam satu kesempatan Ketika memberi bimbingan kepada para petugas, Amir Al-Hajj mengingatkan petugas haji untuk bekerja maksimal dan ikhlas. Anggaplah jama’ah haji itu adalah Ibu atau ayah kita, abang atau adik kita, saudara kita dan sahabta-sahabat kita. Sampai di sini, Amir Al-Hajj sangat menyadari betapa kecewanya para Lansia jika mereka dilarang haji dengan pertimbangan yang rasional sekalipun. Amir Al-Hajj tentu tidak sanggup menatap “wajah ibunya atau ayahnya” yang kecewa, sampai berurai air mata yang bisa jadi rasanya ini akan mereka sampai akhir hayatnya.

Mau tidak mau Amir Al-Hajj harus memutuskan. Ada banyak argument yang bersifat rasional yang ia dapat kemukakan. Bahkan akan sangat absah jika menggunakan pertimbangan Kesehatan mengingat kita belum sepenuhnya bebas dari pandemic covid-19.  Namun di sisi lain, Amir Al-hajj juga tidak dapat mengabaikan pertimbangan yang bersifat teologis-spiritualistik. Baginya haji bukan semata perjalanan yang rasional. Ada banyak rahasia Allah SWT di balik haji. Bisa jadi Lansia yang dianggap banyak resiko ternyata dapat menjalankan hajinya tanpa hambatan sekalipun.

Akhirnya Amir Al-Hajj memberangkatkan jama’ah Lansia. Tugasnya sebagai amir Al-Hajj hanya mempersiapkan segala sesuatunya berkenaan dengan haji dengan sebaik-baiknya. Menata haji yang ramah dengan lansia. Mempersiapkan petugas dengan keterampilan yang memadai untuk menangani Lansia. Melalui Departemen Kesehatan, Amir Al-Hajj juga meminta agar skill pengetahuan terutama keterampilan petugas Kesehatan haji juga semakin meningkat menginat banyaknya jama’ah lansia dengan resiko tinggi.

Ikhtiar yang dilakukan Amir Al-Hajj tidaklah kecil. Ia sangat sadar resiko yang harus diambil dengann keputusan besar itu. Demikianlah, beberapa Upaya kasat mata yang dilakukan Amir Al-Hajj terhadap jama’ah haji lansia secara khusus dan jama’ah haji pada umumnya seperti meningkatkan dan mempersiapkan Fasilitas terbaik untuk mempermudah ibadah lansia dan membuat mereka aman dan nyaman. Dalam pengamatan penulis, hal spesifik bagi lansia diantarnya adalah; 1. Meminta jama’ah Shalat di Hotel dan dapat dilakukan berjamaah di setiap lantai. Pelaksanaan shalat dilakukan dan diimami pembimbing ibadah dan tenaga haji dari daerah. Cara ini untuk menghindari jama’ah ke Haram menginat medannya yang berat bagi Lansia. 2. Setiap jamaah haji mendapatkan minuman air mineral biasa dan air mineral zam zam sebanyak 3 botol (330 ml). Dengan cara ini, jama’ah Lansia tidak perlu khawatir untuk tidak mendapatkan zam-zam selama di tanah haram. 3. Setiap lantai hotel disediakan kursi dorong untuk mempermudah kegiatan lansia. 4. Petugas haji disiapkan dan sigap untuk membantu lansia seperti membawakan barang bawaan dan keperluan lainnya misalnya pelaksanaan ibadah haji dan umrah yang harus dilaksanakan di Haram. 5. Posko piket terdapat di lantai ground atau lobby untuk siap sedia jika dibutuhkan bantuan dimana petugas piket terdiri dari tenaga kesehatan haji dan tenaga non Kesehatan. 6. Setiap jamaah diberikan gelang haji dan kalung yang berisikan barcode dan informasi maktap/hotel, ini akan mempermudah jamaah haji yang tersesat untuk mendapatkan bantuan diantar ke hotel atau maktap. 7. Mempersiapkan petugas yang terampil dengan jalinan komunikasi yang tertata untuk mencari dan menemukan jika ada jamaah haji lansia yang tersasar dan tidak mengetahui jalan Kembali ke Maktab.

Pendek kata Amir Al-Hajj sesungguhnya telah mempersiapkan semuanya dengan cara yang terbaik dan mengantisipasi segala kemungkinan yang terjadi. Tentu yang tidak kalah pentingnya adalah kesiapan petugas haji pada saat pelaksanakan puncak haji di ‘Arafah, Muzdalifah dan Mina. Segala fasilitas dan akomodasi disiapkan. Apakah itu berkenaan dengan tenda dan kemah. Kapasitas penghuni dan segala perangkat lainnya listrik, lampu dan Ac. Demikian juga dengan akomodasi jama’ah. Bahkan kebutuhan kebersihan, mandi, cuci dan tempat buang air kecil dan besar tak luput dari pantauan. demikianlah dalam  beberapa laporan disebutkan, sebelum pelaksanaan haji tidak sekali Amir Al-Hajj terbang ke Saudi hanya untuk melihat persiapan dan memastikan semuanya berjalan dengan baik. Lagi-lagi ini adalah ikhtiar maksimal Amir Al-Hajj untuk memberikan yang terbaik bagi Dhuyuf ar-Rahman. Amir Al-Hajj sangat sadar, sebagai manusia yang diberi Amanah besar dan berat untuk mengurus tamu Allah, yang ia lakukan hanyalah usaha yang maksimal, terencana, sistematis dan penuh perhitungan. Namun Amir Al-hajj bukanlah pemegang kekuasaan yang bisa mengendalikan semua. Ada batas-batas yang dimilikinya. Karena itulah, setelah Upaya maksimal itu ia lakukan, tuntutan teologis selanjutnya ialah ia serahkan keputusannya kepada Allah sembari berdo’a dan bertawakkal kepada Allah agar semuanya berjalan dengan baik.

Penulis yang dalam tahun ini diberi Allah kesempatan melaksanakn ibadah haji sangat sadar dan mengetahui betapa sulitnya mengurus jama’ah haji Indonesia dalam jumlah yang sangat besar dengan keberadaan lansia di dalamnya. Bahkan untuk menyebut contoh, ada kloter yang jama’ah Lansianya lebih banyak dari jama’ah non lansia. Mengurus Lansia ditengah jutaan umat manusia di negara orang tidaklah mudah. Siapapun yang pernah haji akan sangat paham keadaan ini. Oleh karena itu, prestasi haji Indonesia dalam beberapa tahun belakangan ini sebelum dan sesudah covid patut diacungi jempol. Survey kepuasan haji juga mengalami peningkatan. Menteri Agama telah berijtihad dengan menggunakan pendekatan Teologis-Spiritualistik tanpa mengabaikan pertimbangan yang bersifat rasional dan empiric. Keputusan telah ditetapkan. Ia telah membuat wajah-wajah lansia yang sedih dan penuh harap menjadi wajah-wajah yang ceria dan Bahagia Ketika diperkenankan untuk berhaji tahun 2023. Kendatipun ada kejadian atau insiden, dipastikan itu bukanlah sesuatu yang diinginkan. Yang terpenting adalah bagaimana antisipasi yang dilakukan dan bagaimana penyelesaiannya. Pastinya, sebagai Amir Al-Hajj Menteri Agama telah mengambil sikap tegas dan sigap untuk mengatasinya. Keterlaksanaan ibadah haji jama’ah tidak bisa ditawar-tawar. Semua rukun dan wajib haji harus tertunaikan dengan baik. Bahkan sedapat mungkin amalan sunnat sekalipun harus dapat dikerjakan. Ikhitiar maksimal telah dilakukan dan Allah SWT pasti tahu apa yang telah disiapkan dan dilakukan. Terimakasih Pak Menteri Agama dan seluruh petugas  haji Indonesia 2023 atas ikhitiar maksimal yang telah dilakukan. Semoga Allah menjadikan apa yang telah dilakukan menjadi amal shaleh yang mendapatkan perkenan Allah SWT. Amin.