Jakarta (UINSU)
Rektor Universitas Islam Negeri Sumatera Utara (UINSU) Medan Prof Dr Nurhayati, MAg turut menghadiri kuliah umum yang diisi Grand Syekh Universitas Al Azhar As Syarif, Al Imam Al Akbar Prof Dr Ahmad Muhammad Ahmed At Tayeb membawakan khazanah tentang toleransi beragama.
Kuliah umum itu digelar di UIN Syarief Hidayatullah Jakarta, Tengerang Selatan, Banten, Selasa (9/7). Dalam orasi ilmiah syekh besar itu menjelaskan, bahwa mengkafirkan sesama umat beragama bukan ajaran Islam yang sebenarnya. “Kita perlu memberi perhatian fenomena dalam umat Islam yaitu berani mengkafirkan, menafsirkan dan mengeluarkan dari Islam, juga membunuh orang tanpa hak. Yang dipelajari di Al Azhar, kita tidak boleh mengkafirkan orang yang salat menghadap kiblat dan terus mendoakan yang kafir,” ujar Syekh Ahmed At Tayeb.
Padahal, Allah, Tuhan Semesta Alam telah menciptakan manusia dengan keragaman. “Maka Allah SWT juga menjamin keberagaman dari segi akidah, jadi tidak ada paksaan dari agama. Allah SWT mengancam tidak boleh memaksa, sudah ada dalilnya, karena berdasarkan firman Allah SWT. Ia menjadikan kaum untuk beragama sesuai keyakinan masing-masing,” ucapnya.
Ahmed menegaskan, Nabi Muhammad SAW telah berkata secara lugas kepada seluruh muslim agar tidak memaksakan orang lain untuk masuk Islam. “Nabi SAW berkata secara lugas, siapapun yang memiliki agama, baik itu Yahudi, Nasrani, atau agama lainnya, tidak boleh dipaksa untuk masuk ke agama Islam. Islam menjamin keberagaman, agama ini memang didesain untuk menghargai agama yang lain, menjamin kebebasan yang lain,” paparnya.
Selain itu, lanjut dia, secara fikih atau ilmu tentang hukum Islam, umat muslim juga diberi tugas untuk menjamin keamanan rumah ibadah seluruh umat beragama.
“Allah SWT juga menjamin umatnya untuk memiliki rasa cinta satu sama lain, yang telah dipelajari di Al Azhar itu, tidak boleh mengkafirkan orang yang salat menghadap kiblat. Tidak boleh ada yang mengeluarkan seseorang dari status Islam. Apabila mengingkari semua itu, atau tiada Tuhan selain Allah SWT, baru namanya kafir, kalau di luar itu tidak boleh mengkafirkan,” tuturnya.
Lebih dalam syekh besar menjelaskan, berbagai persoalan terjadi berkaitan toleransi. Kekayaan Islam dalam pemikiran saat ini ia nilai berbanding terbalik dengan kenyataan muslim yang cukup menyedihkan di era ini. Umat kita disibukkan dengan perbedaan yang tak penting. Mencampurkan antara yang wajib dan sunah, haram dan makruh serta melupakan hakihak persatuan umat.
Saat ini, masalah lain terjadi yakni tuduhan yang menyedihkan dan perpecahan internal dengan prinsip ‘devide at empira’. Alwuran banyak dihapal dan dibaca tapi perpecahan dan kehancuran umat Islam tetap bisa terjadi. Seperti kejahatan takfir (mengkafirkan), tafsiq dan tabdi’ yang terus ditebar. Padahal, di Al Azhar, salah satu kampus Islam tertua di dunia menganut paham tidak akan mengkafirkan pihak yang jahat.
Syekh besar juga menyampaikan, saat ini adalah momen untuk bekerja bukan hanya berkata-berkata tanpa tindakan dan kerja nyata. Menurutnya, umat saat ini perlu kembali memahamkan, bahwa perbedaan adalah keniscayaan dan suatu hakihat. Maka kita harusnya menghargai perbedaan agama dan perbedaan pendapat. Pada dasarnya, tetap saja ‘manhaj’ Islam dijalankan oleh muslim tanpa ada paksaan.
Hormati agama lain hukumnya adalah wajib, bahkan dibolehkan menikahi ahli kitab, bahkan boleh mengucapksn selamat untuk hari besar agama lain kepada nonmuslim. Ajaran murni Al Azhar, jelasnya, tidak fanatik dengan pendapat tertentu. Bahkan termasuk pendapat Asyari. Tapi pandangan moderasi yang disampaikannya yaitu tidak mengkafirkan orang lain, itu menjadi model yang perlu kita ambil dan diterapkan.
Sejalan dengan konsep posisi muslim, lanjutnya, yakni kesatuan muslim yang bersifat defensif artinya hanya menyerang ketika diserang. Maka, jika tidak ada serangan, muskik harus menyebarkan kebaukan bahkan hingga kepada saudara selain muslim.
Rektor UINSU Prof Nurhayati yang menyaksikan kuliah umum itu merasa kagum akan paparan dan penjelasan syekh besar Ahmed At Tayeb terkait konsep moderasi dalam tatanan toleransi yang begitu kuat untuk sesama manusia. Hal ini tentu sejalan dengan misi Kementerian Agama yang mengedepankan nilai-nilsi toleransi dan moderasi dalam keberagaman umat beragama di Indonesia.
Juga, sejalan dengan visi misi UINSU Medan yakni sebagai pusat atau wadah moderasi beragama khususnya di Sumatera Utara. Khazanah ajaran Islam khas Al Azhar ini, menurutnya, perlu untuk terus disebarluaskan dan dipahamkan kepada masyarakat. Sebagai upaya untuk mewujudkan Islam yang rahmatan lil’alamin atau rahmat dan kasih bagi seluruh alam. Yang cinta damai, penuh kasih, moderat dan penuh toleran dalam kehidupan sesama manusia.
Ke depan, rektor juga mengharapkan, agar bisa menjalin kerja sama kelembagaan internasional khususnya dengan Universitas Al Azhar. Sebagai upaya peningkatkan kualitas pendidikan dan kelembagaan di UINSU Medan. Juga dimaksudkan sebagai upaya pencapaian unggul tingkat institusi. (Humas)