Prof. Dr. Nurhayati, M.Ag
Rektor UIN SU Medan
Jakarta (UINSU)
Program Menteri Agama Republik Indonesia, Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA dalam pelaksanaan ibadah haji tahun 1445H/ 2025 M menfokuskan pada peningkatan pelayanan dan kualitas ibadah haji. Peningkatan pelayanan haji dalam aspek yang komprehensif dan terus memantapkan kualitas rangkaian ibadah haji menjadi suatu keniscayaan. Pelayanan prima dan maksimal dalam pelaksanaan rangkaian ibadah haji harus terlaksana dengan baik. Pelayanan prima yang dipahami sebagai pelayanan terbaik dan maksimal yang diberikan kepada jemaah haji selama proses ibadah haji, mulai dari persiapan hingga kepulangan. Layanan ini mencakup berbagai aspek mulai dari fase pendaftaran, pelunasan, bimbingan ibadah, kesehatan, transportasi, akomodasi, maupun konsumsi. Keterkaitan banyak pihak dalam penyelenggaran ibadah haji harus mampu membuahkan hasil yang maksimal dan terbaik kepada para jamaah haji Indonesia. Bahkan, Menteri Agama menegaskan bahwa layanan prima yang diberikan petugas kepada para jamaah haji sampai pada hal yang sangat sederhana dengan tetap dan senantiasa memberikan senyuman dalam melayani jamaah.
Menariknya, Prof. Nasaruddin menitikberatkan dan penekanan bahwa pelayanan prima akan dapat terwujud dengan baik dan maksimal terkait pada keikhlasan dalam menjalankan tugas dan kesucian perjalanan ibadah. Kekuatan energi ikhlas yang tidak mengharapkan imbalan dan pamrih di dunia tetapi hanya mengharap dari Allah menjadi pijakan yang kokoh untuk memberikan layanan maksimal.
Melihat penting eksistensi ikhlas dalam ibadah haji, Alquran menegaskan secara eksplisit pada Surat al-Imran ayat 97 yang artinya: “Dan kepada Allah manusia melakukan haji ke Baitullah bagi mereka yang sanggup melakukan perjalanan”. Hal senada juga ditegaskan pada Surat Albaqarah ayat 196 yang artinya: “ dan sempurnakan haji dan umrah karena Allah”. Melihat kedua ayat, terlihat secara jelas titik tekan sentral rangkaian ibadah haji terletak pada tujuan semata pada Allah dan bukan pada makhluk.
Para ulama semisal Ibnu Atha’illah merumuskan ikhlas sebagai dengan melakukan amal ibadah semata-mata ditujukan kepada Allah Swt sebagai satu-satunya zat yang pemilik hamba. Buya Hamka menegaskan ikhlas dengan memiliki makna bersih dan tidak ada campuran. Ibarat emas, ikhlas adalah emas yang tulen, tidak ada campuran perak sedikit pun. Dari dua pendapat di atas, dapat ditarik benar merah bahwa ikhlas menjadi pondasi mendasar dalam satu aktifitas tanpa didasarjan pada motivasi apa pun kecuali hanya berharap pada Allah.
Lebih tegas lagi, Prof. Nasaruddin Umar mengurai ikhlas sebagai kesungguhan dan ketaatan semata-mata karena Allah Swt, tanpa mengharapkan pujian dan imbalan dari manusia. Ikhlas merupakan sikap yang menunjukkan ketulusan hati dan perbuatan yang tidak dicampur dengan tujuan-tujuan lain. Bahkan, ikhlas tertinggi yang tercermin pada kebaikan-kebaikan yang dilakukan secara rahasia dan tidak ingin diketahui siapa pun.
Demikian juga, ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari segala maksud-maksud lain, baik sedikit maupun banyak sampai pada akhirnya semua tindakan yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrub ilallah). Demikian juga ikhlas dipahami tidak mengharapkan pujian atau kehormatan dari sesama manusia melainkan hanya mencari ridha Allah.
Tegasnya lagi, ikhlas tidak hanya sekedar melakukan dalam konteks ibadah, tetapi juga mencakup sikap bersyukur dalam keadaan nikmat dan sabar dalam menghadapi musibah. Sekaligus ikhlas kunci untuk meraih keajaiban dan pahala yang utuh. Dengan kata lain, ikhlas merupakan sifat tulus dan murni dalam beramal yang dilakukan hanya semata karena Allah Swt dan tanpa mengharapkan balasan duniawi. Dalam konteks ini, posisi pentingnya ikhlas bagi seluruh pelaksana ibadah haji tidak terbantahkan. Layanan prima yang tidak mengenal pamrih, harapan pujian dan apresiatif dari manusia tidak mendapatkan tempat lagi kecuali harap pada Allah.
Pada sesi pelepasan jamaah haji Kloter pertama dari Embarkasi Jakarta Pondok Gede Menteri Agama, Prof. Nasaruddin menegaskan akan pentingnya keikhlasan dan kesiapan spritual dilatari perjalanan haji bukan perjalanan biasa tetapi perjalanan vertical sehingga membutuhkan perbaikan niat dan ketulusan hati. Kesempatan berhaji yang didapatkan para jamaah haji sebuah nikmat dan kesyukuran yang tidak semua orang mendapatkannya. Kedisiplinan dan kepatuhan pada aturan yang berlaku menjadi bahagian yang tidak terpisahkan dalam keberhasilan ibadah haji. Semoga pelaksanaan ibadah haji tahun 1446H/2025M berjalan dengan baik dan sukses. (Humas)