Jakarta (UINSU)
Penyelenggaraan ibadah haji tahun 2025 menjadi momen reflektif sekaligus bersejarah bagi Kementerian Agama Republik Indonesia. Di tengah evaluasi akhir operasional haji, Menteri Agama, Prof. Dr. KH. Nasaruddin Umar, M.A., menyampaikan permohonan maaf kepada seluruh jamaah haji Indonesia atas berbagai kekurangan dalam layanan yang mereka terima selama menjalankan ibadah di Tanah Suci.
Pernyataan tersebut disampaikan dengan penuh ketulusan, menjadi penanda sikap kepemimpinan yang tidak hanya administratif, tetapi juga mengakar pada nilai-nilai moral dan spiritual. Dalam keterangannya, Nasaruddin Umar menyampaikan bahwa tahun ini kemungkinan menjadi yang terakhir bagi Kementerian Agama sebagai penyelenggara teknis ibadah haji, sebelum kewenangan sepenuhnya dialihkan kepada Badan Penyelenggara Haji (BPH) mulai 2026 mendatang.
Permintaan maaf terbuka yang disampaikan Menag bukan sekadar formalitas birokrasi, melainkan bentuk tanggung jawab etis terhadap amanah publik yang telah dijalankan selama lebih dari tujuh dekade. Dalam wawancaranya bersama media nasional, ia menyebut bahwa selama 75 tahun, Kemenag telah berupaya maksimal dalam memberikan pelayanan terbaik, namun menyadari masih banyak aspek yang bisa diperbaiki. Sikap ini memperkuat citra kepemimpinan yang menjunjung tinggi prinsip transparansi, rendah hati, serta berorientasi pada perbaikan berkelanjutan.
Momentum 75 tahun ini juga menjadi refleksi penting dalam perjalanan sejarah birokrasi pelayanan haji di Indonesia. Dengan berakhirnya masa pengelolaan haji oleh Kementerian Agama, peralihan tanggung jawab ke BPH tidak hanya menjadi perubahan kelembagaan, tetapi juga menandai fase baru dalam penguatan sistem tata kelola yang lebih modern dan profesional.
Di tengah transisi ini, Menag Nasaruddin menekankan pentingnya regulasi yang adaptif dan kesiapan struktural untuk menjamin bahwa pelayanan kepada jamaah tetap berjalan tanpa hambatan. Ia juga menaruh harapan besar agar revisi UU No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah segera disahkan, sebagai fondasi hukum untuk memperkuat peran BPH dalam periode mendatang.
Dalam berbagai kesempatan, termasuk di hadapan jamaah haji dan media, Menag tampil sebagai sosok yang tidak hanya menyampaikan kebijakan, tetapi juga menghidupkan nilai-nilai kepemimpinan berbasis welas asih dan kejujuran. Gaya komunikasinya yang hangat dan inklusif mencerminkan watak kepemimpinan yang lahir dari dunia pesantren, akademisi, dan pengalaman panjang dalam mengelola institusi keagamaan.
Sikap reflektif ini menjadi teladan penting, terlebih dalam konteks birokrasi publik yang kerap dituntut untuk bekerja cepat namun tetap humanis. Dalam fase transisi besar ini, harapan akan pelayanan haji yang lebih profesional, transparan, dan ramah jamaah terus menguat. Ketulusan dalam mengakui kekurangan sekaligus komitmen memperbaiki menjadi modal sosial yang sangat berharga bagi keberlangsungan pelayanan ibadah haji di masa mendatang. (Humas)