UINSU

Medan (UINSU)

Upaya memperkuat nilai-nilai kerukunan dan moderasi beragama tidak hanya menjadi tanggung jawab perguruan tinggi atau lembaga negara, tetapi juga harus ditanamkan sejak dini kepada generasi muda. Hal ini tercermin dari kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh dua tokoh akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Sumatera Utara, yakni Wakil Rektor I, Prof. Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag, serta Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Prof. Dr. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A. Keduanya hadir secara terpisah di dua sekolah unggulan di Medan, yakni SMA Sultan Iskandar Muda dan SMA Sutomo, untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam kepada para pelajar mengenai pentingnya moderasi beragama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ket : Prof. Dr. Azhari Akmal Tarigan, M.Ag berfoto bersama siswa siswi SMA Sultan Iskandar Muda Medan didampingi pengurus FKUB Lainnya dan Guru-guru

Dalam kunjungannya ke SMA Sultan Iskandar Muda Medan, Prof. Azhari Akmal Tarigan menegaskan bahwa kerukunan antarumat beragama bukan sekadar jargon, melainkan sebuah pondasi yang akan menentukan kualitas kehidupan masyarakat Indonesia di masa mendatang. “Pelajar hari ini adalah pemimpin masa depan. Jika sejak muda sudah memiliki pemahaman yang baik tentang kerukunan, maka Indonesia akan aman dari perpecahan dan konflik yang berakar pada perbedaan,” ujarnya di hadapan ratusan siswa yang memenuhi aula sekolah. Para siswa terlihat antusias. Diskusi berlangsung hangat, bahkan beberapa di antara mereka mengajukan pertanyaan kritis tentang bagaimana menjaga persatuan di tengah derasnya arus informasi media sosial yang sering kali memicu polarisasi.

Prof. Azhari menanggapi dengan menekankan pentingnya literasi digital. Menurutnya, kemampuan menyaring informasi dan menahan diri dari ujaran kebencian adalah bagian dari praktik moderasi beragama di era modern. Ia juga mengingatkan bahwa siswa perlu mengasah kecerdasan emosional agar mampu merespons perbedaan dengan bijak. Moderasi, baginya, tidak hanya soal hubungan antarumat beragama, melainkan juga sikap toleran dalam ruang sosial yang lebih luas.

Sementara itu, di SMA Sutomo Medan, Prof. Syukri Albani Nasution menekankan bahwa moderasi beragama bukan sekadar konsep akademik yang dibahas di ruang kuliah. Nilai ini harus diterjemahkan dalam sikap sehari-hari, baik di sekolah, lingkungan keluarga, maupun masyarakat luas. “Moderasi bukan berarti mengurangi keyakinan, tetapi bagaimana setiap orang tetap teguh pada agamanya sambil menghormati perbedaan. Di sekolah ini, saya melihat siswa sudah memahami makna tersebut dengan baik,” ungkapnya.

Dalam sesi tanya jawab, beberapa siswa mengutarakan pandangan mereka tentang kerukunan. Salah satu siswa mengaku bahwa kegiatan seperti ini membuatnya lebih yakin bahwa keberagaman di Indonesia adalah kekuatan, bukan kelemahan. Prof. Syukri pun mengapresiasi kesiapan generasi muda dalam menyerap nilai-nilai kerukunan. “Kalau anak-anak SMA sudah paham arti moderasi, saya optimis bangsa ini akan terus berdiri kokoh,” tambahnya.

Kegiatan di dua sekolah itu berlangsung dalam suasana hangat dan penuh interaksi. Tidak ada kesan menggurui, melainkan dialog yang setara antara guru besar dengan para siswa. Hal ini membuat materi yang disampaikan terasa dekat dengan kehidupan sehari-hari para pelajar. Di SMA Sultan Iskandar Muda, beberapa siswa bahkan memberikan testimoni singkat setelah acara. “Saya jadi lebih paham bahwa toleransi itu bukan hanya tentang menghormati teman berbeda agama, tetapi juga menghargai pendapat dan cara pandang yang beragam,” ujar seorang siswa kelas XI. Komitmen ini diharapkan menjadi contoh nyata bahwa moderasi beragama bisa dimulai dari lingkup kecil.

Kehadiran dua profesor dari UIN Sumatera Utara di sekolah menengah menjadi bukti nyata bahwa kampus tidak menutup diri dari masyarakat. Akademisi berperan penting dalam menjembatani nilai-nilai ilmiah dengan kebutuhan praktis generasi muda. “UIN Sumatera Utara punya komitmen kuat untuk terus mendorong moderasi beragama. Bukan hanya di ruang kuliah, tetapi juga di sekolah-sekolah. Kita ingin benih-benih kerukunan ini tumbuh sejak dini,” jelas Prof. Azhari.

 Sementara itu, Prof. Syukri menekankan bahwa kolaborasi antara perguruan tinggi dan sekolah harus diperkuat. “Moderasi beragama akan lebih efektif jika disampaikan secara lintas jenjang. Jadi, saat anak masuk perguruan tinggi, mereka sudah matang dengan nilai-nilai tersebut,” katanya.

Ket : Prof. Dr. Muhammad Syukri Albani Nasution, M.A sedang menyampaikan materi kepada murid-murid SMA Sutomo Medan

Indonesia adalah bangsa yang kaya akan keberagaman agama, budaya, dan etnis. Namun, di sisi lain, keragaman ini juga rawan disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu untuk menebar perpecahan. Di hadapan para pelajar, kedua profesor UIN Sumatera Utara menekankan bahwa moderasi beragama adalah jawaban untuk menghadapi tantangan tersebut. Dengan bersikap moderat, masyarakat tidak mudah terprovokasi oleh isu-isu sektarian yang bisa mengancam keutuhan bangsa. Menurut Prof. Azhari, moderasi beragama juga selaras dengan nilai-nilai luhur Pancasila. “Kita punya Pancasila sebagai ideologi. Itu adalah landasan moderasi yang paling kokoh. Tinggal bagaimana kita menginternalisasikannya dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Kegiatan penyuluhan di dua sekolah tersebut pada akhirnya bukan hanya sekadar acara formalitas, melainkan sebuah langkah nyata untuk menyemai harapan baru. Generasi muda yang memahami arti kerukunan dan moderasi akan tumbuh menjadi warga negara yang mampu menjaga persatuan. Indonesia, dengan segala keberagamannya, memang membutuhkan generasi yang tangguh sekaligus inklusif. Dan dari ruang-ruang kelas di Medan, terlihat jelas bahwa benih-benih itu mulai tumbuh. “Semoga apa yang kami sampaikan hari ini menjadi bekal berharga bagi siswa. Sebab merekalah yang akan melanjutkan estafet bangsa ini,” tutup Prof. Syukri.

Penyuluhan kerukunan dan moderasi beragama yang digelar di SMA Iskandar Muda dan SMA Sutomo Medan menunjukkan bahwa pendidikan karakter dan nilai kebangsaan tidak boleh berhenti di perguruan tinggi. Justru, sejak dini, generasi muda harus dibekali dengan pemahaman yang komprehensif tentang arti kebersamaan. Dengan keterlibatan langsung akademisi UIN Sumatera Utara, kegiatan ini memberi sinyal kuat bahwa perguruan tinggi memiliki peran vital dalam menjaga keberlangsungan harmoni bangsa. Lebih dari sekadar kegiatan, ia adalah investasi jangka panjang bagi masa depan Indonesia. (Humas)

Skip to content